Rabu, 24 Juni 2015

Kota Makassar

Diposting oleh Unknown di 20.21
MAKASSAR” berasal dari kata mangkasarak yang terdiri dari 2 kata, yaitu “mang” dan “kasarak“. Mang disini semacam sebuah kata tambahan yang memperjelas kata dasarnya, yaitu “kasarak” dimana arti kasarak disini adalah terang, jelas, tegas atau nyata.  Jadi, kata “Mangkasarak” Mengandung arti “memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter “Mangkasarak” berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Jadi sangat jauh dari apa yang selama ini kita dengar bahwa asal kata Makassar dari kata “kasar” yang bila di bahasa Indonesiakan terdengar seperti suatu sifat yang kurang baik. Makassar adalah kota yang indah, oleh karena itu, saya harap dengan adanya blog ini anda semua dapat lebih
mengenal keindahan, keramahan dan berbagai hal positif dari kota Makassar. Makassar adalah ibu kota Provinsi dari Sulawesi selatan. Dimana Sulawesi selatan sebenarnya memiliki beberapa suku, yaitu Makassar, Bugis, Luwu, dan Toraja, dan suku Makassarlah yang terbesar di Sulawesi Selatan ini. Oleh karena itu Provinsi sulawesi selatan lebih banyak dikenal dengan Bugis Makassar, karena kedua suku inilah yang terbesar. Banyakya suku menjadikan Sulawesi selatan ini juga mempunyai keaneka ragaman budaya, bahasa dan adat kebiasaan. Dan semoga nantinya dapat saya tampilkan semua di blog ini, agar anda semua dapat lebih mengenal Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya. Sumber: https://ceritamakassar.wordpress.com/





Makanan Khas Makassar (sumber; http://www.hasbihtc.com/8-kuliner-khas-makassar-aneka-makanan-sulawesi.html)

. Coto Makassar Atau Soto Mangkasara
Coto Makassar
Coto Makassar
Makanan khas makassar yang kaya rempah ini memang sangat terkenal di seluruh penjuru Nusantara bahkan Mancanegara sekalipun, dan banyak orang yang datang ke Makassar pasti pernah mencicipi coto makassar baca resep coto makassar

Sop Konro
Sup Konro adalah masakan tradisional khas Indonesia yang berasal dari tradisi Bugis dan Makassar. Sup ini berbahan dasar iga sapi atau daging sapi. Daging sapi direbus bersama dengan bahan lain seperti kayu manis, air asam jawa dan berbagai bahan lainnya. Kemudian tumisan campuran beberapa bumbu masak seperti merica, pala, kacang merah dan bahan lainnya, dituangkan kedalam rebusan iga sapi. Warna gelap sop konro berasal dari buah kluwak yang memang berwarna hitam. Bumbunya relatif “kuat” akibat digunakannya ketumbar. Konro aslinya dimasak berkuah dalam bentuk sup yang kaya rempah-rempah, akan tetapi kini terdapat variasi bakar yang disebut “Konro bakar” yaitu iga sapi bakar dengan bumbu khas konro. Masakan berkuah warna coklat kehitaman ini pada umumnya disajikan atau dimakan bersama nasi putih dan sambal.

Barongko
Barongko adalah makanan penutup khas daerah Bugis-Makassar berupa kue pisang yang sangat lembut. Pisang yang menjadi bahan baku utamanya di olah sedemikian rupa, daging pisang dihaluskan bersama bahan yang lain seperti telur, gula, garam dan susu bubuk, lalu dibungkus memakai daun pisang berbentuk bungkusan pecal. baca resep kue bugis makassar

Pisang Epe
Dilihat dari namanya pastilah makanan khas kota Makassar ini terbuat dari pisang. Pisang yang dijadikan bahan pembuatannya yaitu pisang kepok setangah mengkal. Proses pembuatannya pun tergolong sangat mudah dan bahan-bahan yang dibutuhkan juga gampang untuk dicari.
Pisang yang telah dikupas dibakar diatas bara api, kemudian dibolak-balik hingga harum dan lembek. Pisang diambil kemudian di tekan hingga pipih, kemudian di bakar kembali. Setelah melakukan pembakaran, pisang ditaruh diatas piring dan kemudian untuk toppingnya gula merah dicampur dengan air daun pandan ditambah dengan garam dan durian yang direbus hingga kental, dan kemudian disiramkan keatas susunan pisang yang disajikan diatas piring

Es Palu Butung
Es Palu Butung adalah es campur gaya Makassar yang merupakan makanan penutup sangat populer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Bahan utama pembuatan es ini berupa pisang hijau yang dipotong-potong yang diletakkan diatas semacam bubur berwarna putih yang terbuat dari santan ditambah dengan es serut dan susu kental. Es ini juga biasa tersaji di warung-warung karena memang dua hidangan ini berasal dari daerah yang sama.

 Es Pisang Hijau
Es Pisang Hijau

Es pisang Hijau adalah hidangan khas dari kota aging mammiri, namun demikian hidangan ini cukup populer dibanyak daerah. Es ini terbuat dari pisang raja atau kepok, paduan pisang dan tepung beras ditambah bubur, sirop dan es serut membuat es ini benar-benar mengugah rasa. Cocok dinikmati saat udara panas. Jadi kata ijo itu bukan menunjukkan bahwa jajanan ini terbuat dari pisang hijau tetapi dari tepung pembungkusnya yang berwarna hijau dari daun pandan, baca resep pisang hijau

Gogoso
Resep Gogoso Kuliner Makassar
Gogoso Kuliner Makassar
Gogoso adalah salah satu makanan khas orang bugis makassar yang sangat digemari di Sulawesi Selatan ketika lebaran, selain ketupat lebaran, gogoso pun juga turut meramaikan bersama dengan bersama dengan aneka masakan lainya pada hari-hati biasa, gogoso banyak ditemukan didaerah pantai losari atau dipinggir-pinggir jalan kota makassar biasanya dijajakan oleh pedagang asongan bisanya dijajakan bersama telur asin atau lebih akrab dengan sebutan orang makassar Bayao Kannasa, dan kacang rebus. baca resep gogoso
Demikianlah persembahan dari saya yang sudah membahas mengenai 8 Kuliner Khas Makassar Aneka Makanan Sulawesi sebenarnya ada masih banyak lagi mengenai masakan sulawesi seperti coto kuda atau gantala jarang. Wassalam.
Read more: http://www.hasbihtc.com/8-kuliner-khas-makassar-aneka-makanan-sulawesi.html#ixzz3dzbl2ugR

Ciri Khas Kota Makassar

Benteng Fort Rottherdam
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Pulau Kayangan
Pulau Kayangan adalah sebuah pulau kecil berpasir putih seluas sekitar 1 ha dan secara administratif termasuk dalam wilayah Kelurahan Bulo Gading, Ujung Pandang, Makassar, Sulawesi Selatan. Lokasinya berjarak ± 0,8 km dari Kota Makassar, tidak jauh dari Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, atau dapat ditempuh 15 menit perjalanan dengan menumpang perahu boat 36 PK yang khusus disediakan bagi para pengunjung. Pulau ini dulunya bernama Marrouw atau Meraux.
Pulau Kayangan mempunyai beberapa fasilitas seperti tempat penginapan, resort/pondokan, panggung hiburan, restoran, gedung serba guna, tempat bermain bagi anak-anak, sarana olah raga, dan anjungan memancing. Di bagian lain terdapat sejumlah aquarium yang menampung beraneka ragam jenis ikan hias air laut. Daya tarik : Berenang, panorama matahari terbenam (sunset), olah raga air, musik & pertunjukan, permainan anak-anak, akuarium.
 
 Pulau Samalona
Samalona adalah sebuah pulau kecil di Selat Makassar, tepatnya di sebelah barat daya pantai barat Sulawesi Selatan. Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Posisi lebih tepatnya berada di sebelah barat kecamatan Wajo, Makassar, berjarak sekitar 2 km dan bisa dilihat dengan jelas dari kecamatan tersebut.
Untuk menuju pulau ini bisa menggunakan perahu nelayan (perahu dengan mesin tempel) dan memerlukan waktu tempuh tidak lebih dari 0,5 jam. Di pulau ini berdiri sebuah mercu suar yang digunakan sebagai tanda batas daratan bagi kapal-kapal berbadan besar.
Samalona adalah kepulauan yang bisa dilihat jelas dari Benteng Fort Rotterdam di daerah Keling – Makassar. Mandalika hanya berjarak 500 meter dari bibir tebing Benteng Fort Rotterdam.
 Pelabuhan Paotere
Poetere (pelabuhan tradisional) merupakan tempat persinggahan kapal layar masyarakat Sulawesi yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Terdapat berbagai macam kapal layar dalam gaya dan bentuknya.
Terletak di Kecamatan Ujung Tanah, Makassar, Sulawesi Selatan. Pelabuhan yang berjarak ± 5 km (± 30 menit) dari pusat Kota Makassar ini merupakan salah satu pelabuhan rakyat warisan tempo doeloe yang masih bertahan dan merupakan bukti peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo sejak abad ke-14 sewaktu memberangkatkan sekitar 200 armada Perahu Phinisi ke Malaka.
Pisang Epe
Kalau ini gan.. Bisa didapat kalau pergi ki’ pantai Losari. Pisang ini di bakar kemudian di beri gula merah yang cair. enak pokoknya apa lagi bersama pacar
Trans Studio
Trans Studio Resort Makassar adalah kawasan wisata terpadu di Makassar, Indonesia. Trans Studio dibangun seluas 12,7 hektare dengan investasi mencapai Rp 1 triliun. Proyek ini diresmikan pada 9 September 2009 oleh Bapak Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla. Fasilitas yang dibangun di antaranya pusat perbelanjaan yang meliputi Trans Walk dan Trans Rodeo Drive, kemudian Trans Studio, Trans Hotel, serta kantor Bank Mega. Gedung Trans Studio dibangun seluas 22.000 m² dengan tinggi 20 meter yang merupakan taman hiburan indoor terbesar ke 3 di Dunia.
tambahan
Karebosi
Kalau ini, satu – satunya MAL di bawa tanah ( di bawa lapangan KAREBOSI )
Jujur saya biasa berfikir, gimana seandainya Lapangannya Longsor yaa

fasilitas karebosi tambah lengkap dengan kehadiran lapangan futsal. Carefour itu berada di bawah lapangan Karebosi ada juga pizza hut, food court, game zone, kios ponsel/laptop/elektronik/dll…. Dan lapangan ini sering sy lihat diambil mereka-mereka yg akan melangsungkan pernikahan sebagai lokasi foto pre-wedding …
sumber: (http://rossydiahmad.wordpress.com/2010/10/08/10-ciri-khas-makassar/)



Budaya Khas Makassar

Toraja
Célèbes 6543a.jpg
Anak perempuan Toraja pada upacara pernikahan
Jumlah populasi
650.000[1]
Kawasan dengan konsentrasi signifikan
Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan
Bahasa
Toraja-Sa'dan, Kalumpang, Mamasa, Ta'e, Talondo' dan Toala'.
Agama
Protestan: 65,15%, Katolik: 16,97%, Islam: 5,99% dan Aluk To Dolo: 5,99%.[1]
Kelompok etnik terdekat
Bugis, Makassar
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.[1] Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[2]
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.[3] Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.[4] Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.[5]

Identitas etnis

Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.[3] Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).

Sejarah

Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.[2] Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut.[8] Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.[2]
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan budak yang menguntungkan Toraja.[9] Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.[10] Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.[9]
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.[11]
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.[12] Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[2]

Masyarakat

Keluarga


Sebuah perkampungan suku Toraja
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.[13] Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.[14] Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.[15]

Kelas sosial

Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.[5]
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,[16] tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.[13] Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

Agama

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.[17] Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.[9] Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.[18]
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.[19] Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.[10] Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

Kebudayaan

Tongkonan


Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.[15] Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.[20]
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

Ukiran kayu


Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.[21] Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.[21] Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
Beberapa motif ukiran Toraja

pa'tedong
(kerbau)

pa'barre allo
(matahari)

pa're'po' sanguba
(menari)

ne'limbongan
(perancang legendaris)

Upacara pemakaman


Tempat penguburan Toraja yang diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.[23]
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.[24] Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.[25]

Sebuah makam.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.[26]
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.[27] Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Musik dan Tarian

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong).[6][26] Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.[23] Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.

Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras[28] Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.[29]

Bahasa

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,[1] akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.[30] Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.[6]
Keragaman dalam bahasa Toraja
Denominasi ISO 639-3 Populasi (pada tahun) Dialek
Kalumpang kli 12,000 (1991) Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
Mamasa mqj 100,000 (1991) Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
Ta'e rob 250,000 (1992) Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
Talondo' tln 500 (1986)
Toala' tlz 30,000 (1983) Toala', Palili'.
Torajan-Sa'dan sda 500,000 (1990) Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
Sumber: Gordon (2005).[30]
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.[23] Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

Ekonomi

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.[11] Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dikenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.

Komersialisasi


Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa.[2] Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.[31] "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali".[5] Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik),[4] dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989.[2] Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.[15]
Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh".[2] Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.[4]
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.[4]
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat,[5] sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.

Filosofi Tau

Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.
Sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja

0 komentar:

Posting Komentar

 

Bodhia ilmiwaty Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos