Hampir setiap musim kemarau di Indonesia pada beberapa
dekade terakhir ini sering mengalami kebakaran, khusunya di beberapa wilayah
yaitu Jambi, Riau, Sumatera dan Kalimantan. Penyebab dari masalah kebakaran
hutan adalah karena kesalahan sistemik dalam pengelolaan hutan secara nasional.
Dalam praktek konservasi lahan, penyiapan atau pembersihan atau pembukaan lahan
oleh perusahaan dilakukan dengan cara membakar. Metode land clearing dengan
cara membakar tersebut lebih dipilih daripada metode lain, karena dinilai
paling murah dan efisien. Faktor ekonomi dan ketidaktersediaan teknologi yang
memadai menjadi latar belakang kenapa metode ini lazim dilakukan, meskipun
dampak yang ditimbulkan dari penerapan metode ini terhadap lingkungan tidak
sebanding dengan hasilnya.
Dampak langsung dari kebakaran hutan tersebut antara lain,
timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat,
berkurangnya efesiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala
besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan diliburkan, terganggunya
transportasi di darat, laut maupun udara, timbulnya persoalan internasional
asap dari kebakaran hutan tersebut
menimbulkan kerugian materiil dan imateriil pada masyarakat setempat dan
sering kali menyebabkan pencemaran asap lintas batas (transboundary haze
pollution) ke wilayah negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
Asap dari kebakaran hutan dan lahan itu ternyata telah menurunkan kualitas
udara dan jarak pandang di wilayah di Sumatera dan Kalimantan, termasuk
Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian Thailand.
Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional
karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga
(transboundary pollution) sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia
atas terjadinya masalah ini. Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan
hidup ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13 Oktober 2006,
Malaysia dan Singapura mendesak Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini.
Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada alasan bahwa kabut asap
tersebut telah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat, perekonomian
serta pariwisata mereka.
Pernyataan maaf secara resmi terhadap masalah ini sebenarnya
sudah dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Malaysia dan
Singapura. ASEAN sebagai organisasi regional yang menaungi daerah bencana ini
patut memberikan bantuan. ASEAN dalam hal ini sebagai organisasi tempat para
pihak bernaung secara internasional memiliki perangkat yuridis berupa traktat
internasional yaitu The 1997 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
(AATHP). Namun negara-negara ASEAN terutama Malaysia dan Singapura belum merasa
puas karena Indonesia sampai saat ini belum meratifikasinya sehingga . Sampai
dengan bulan Juli 2005, tujuh negara ASEAN telah meratifikasi yakni Brunei,
Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos dan Kamboja.
Meskipun demikian, pencemaran udara akibat kebakaran hutan
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Salah satu
prinsip adalah “Sic utere tuo ut alienum non laedes” yang menentukan bahwa
suatu Negara dilarang melakukan atau mengijinkan dilakukannya kegiatan yang
dapat merugikan Negara lain dan prinsip good neighbourliness. Pada intinya
prinsip itu mengatakan kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu
oleh negara lain. Dalam hukum internasional terdapat prinsip-prinsip hukum
internasional untuk perlindungan lingkungan lainnya adalah general prohibition
to pollute principle, the prohibition of abuse of rights, the duty to prevent
principle, the duty to inform principle, the duty to negotiate and cooperate
principle, intergenerational equity principle.
Konsekuensi dari pelanggaran tersebut dapat menjadi dasar
untuk meminta pertanggungjawaban Negara terhadap Negara yang telah melakukan
tindakan yang merugikan Negara lain. Menurut hukum internasional
pertanggungjawaban Negara timbul dalam hal Negara yang bersangkutan merugikan
Negara lain. Dalam hal ini kasus kebakaran hutan di Indonesia telah menimbulkan
dampak negatif terhadap Negara-negara tetangga.
Bila dilihat, sebenarnya Indonesia telah melakukan segala
upaya yang mampu dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi polusi asap akibat
kebakaran hutan. Hal ini jelas bukan merupakan tindakan aktif negara dan juga
tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan membiarkan, mengingat upaya-upaya
telah dilakukan. Selain itu, Presiden
SBY telah meminta maaf kepada Malaysia dan Singapura sebagai bentuk
tanggung jawab, meskipun hanya sebagai tanggung jawab moral.
Upaya pemerintah Indonesia sekarang menanggulangi kebakaran
hutan sudah membaik namun keterbatasan dana dan personil serta luasnya skala
kebakaran, menyebabkan Indonesia sekali lagi tidak berdaya. Indonesia
memerlukan bantuan, tidak hanya menanggulangi kebakaran hutan dengan pengerahan
personil dari ASEAN, tetapi juga pencegahan, yakni dengan membuat aturan hukum
yang efektif menghukum pembakar hutan. Dan sebagian dari masalah ini bisa
ditanggulangi hanya apabila Indonesia meratifikasi ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution ini. Bila dilihat, sebenarnya ratifikasi
kesepakatan tersebut lebih banyak keuntungannya daripada kerugiannya terhadap
kepentingan dan kebijakan nasional Indonesia.